Introspeksi Diri Sebagai Usaha Terakhir Agar Bisa Menjadi Insan Kamil

Introspeksi Diri
            Sebagai usaha terakhir agar bisa menjadi insan kamil maka kita harus selalu menghitung diri, menghitung hari dan introspeksi diri. Ketika kamu merasa sakit karena keengganan manusia menerimamu, atau karena celaan mereka terhadapmu, maka kembalilah kepada ilmu Allah yang ada pada dirimu. Jika ilmu-Nya ada pada dirimu tidak membuat tenang, maka musibah yang menimpamu karena tidak merasa tenang dengan ilmu-Nya, lebih besar dari mesubah yang menimpa karena celaan mereka.
            Pendapat manusia tentang suatu perkara tidak menentukan kata pasti tentang salah atau benarnya perkara itu. Pendapat mereka tentang seseorang bukan merupakan putusan nilai tentang tinggi rendahnya orang yang dinilai itu. Yang harus ditegaskan adalah pendapat manusia yang sangat beragam dan bebas itu memerlukan pengendalian dan klarifikasi, karena sedikit sekali yang sejalan dengan kejujuran dan kebenaran. Oleh sebab itu benar kata syair:
Jika kamu ingin semua yang kamu kira itu muncul ke permukaan,
Maka bawalah ia dalam kerumunan banyak orang.

            Dalam suasana krisis yang memerlukan penyelamatan segera dan dalam kondisi sulit yang sangat membutuhkan sikap kepahlawanan sekalipun, masih sangat sulit mencari orang-orang yang bisa bersikap jantan, berkata jujur, apa adanya, dan berperilaku benar.
            Oleh sebab itu ketika orang-orang saleh menemukan pengingkaran dan kedurhakaan, serta merasakan penolakan dan pengasingan manusia kepadanya, kita bisa membacakan ayat: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”.
            Dorongan gerak seorang mukmin berasal dari hati nurani dan tujuannya mencapai keridaan Allah semata. Ia tidak pernah ambil pusing apakah orang-orang menjauhi atau mencelanya. Mendekati dan memujinya. Walaupun seseorang sangat terikat dengan masyarakat di mana ia tinggal, mau tidak mau, suka atau tidak, ia mesti tetap tegar dalam pendirian di tengah pujian atau celaan yang diarahkan kepadanya. Orang yang baik tidak akan menyia-nyiakan keutamaan dirinya kepada kehinaan walau tidak mendapat penghargaan yang semestinya.
            Maka, hak seseorang untuk menjaga dirinya dari kejelekan yang diarahkan kepadanya. Membela dirinya dari tuduhan orang-orang yang ingin meruntuhkan harga dirinya. Adalah haknya juga ketika ia menjadi sumberisu untuk menjaga pamor dirinya agar tidak redup dan untuk menjadikan dirinya sebagai contoh yang baik. Menjadi sumber serta tempat berlindung kebaikan di dunia; bagi generasi berikutnya.
            Oleh karena itu, hubungan antar sesama manusia harus dijelaskan dengan agak detil. Keberadaannya di tengah-yengah masyarakat jangan sampai menghalanginya untuk terang-terangan dalam menjalankan kewajiban dan syiar agama: “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.
            Ketika seseorang menjaga harga diri dari tuduhan dan prasangka orang, maka hal tersebut juga merupakan haknya. Nabi sendiri pernah menyuruh berhenti beberapa orang yang melihat beliau berjalan bersama salah seorang isterinya. Lalu beliau menerangkan kepada mereka bahwa beliau berjalan bersama isterinya. Ini beliau lakukan agar mereka tidak menuduhnya telah berbuat jelek, walaupun beliau pribadi bebas dari tuduhan.
            Jika seorang mukmin merasa bahagia karena terkenal sebagai pelaku kebaikan, wajar saja adanya. Asal saja perbuatan-perbuatan baik itu ia lakukan dengan niat ikhlas dan hati yang tulus. Para sahabat pernah bercerita kepada Rasulullah saw tentang perasaan bahagia yang merasuki diri mereka ketika orang-orang memuji mereka atas amal kebaikan yang mereka kerjakan karena Allah. Rasulullah bersabda: “(Perasaan)itu merupakan berita gembira di dunia bagi orang mukmin”. Kemudian beliau membacakan ayat: “Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”.
            Memperoleh kemuliaan dan kedudukan di dunia merupakan salah satu rahmat Allah. Menjadi pusat perhatian merupakan bagian dari kedudukan itu. Oleh sebab itu Allah memberikannya kepada Muhammad saw dengan firman-Nya: “Dan, Tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”.
            Nabi Ibrahim pun memohon kepada Tuhan agar mengabadikan pujian baginya sepanjang zaman. Kata Ibrahim: “(Ibrahim berdo’a): ‘Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kiemudian”.
            Yang penting, seseorang dalam beramal harus didasari keikhlasan karena Allah semata. Dalam menjalankannya jangan mengharap imbalan duniawi dan pujian manusia. Haruslah kecintaannya kepada Allah mengalahkan dorongan lainnya. Jika orang-orang memusuhinya, ia pun akan tetap tegar berjalan menuju Tuhan tanpa rasa takutdan tidak akan menyerah. Juga hubungan dengan sesama manusia harus dalam kerangka kerja sama dalam kebenaran. Bukan saling bahu-membahu dalam meraih tujuan-tujuan dunia. Bukan juga berupa perkumpulan yang mengumbar hawa nafsu dan kepuasan-kepuasan sesaat lainnya. Bukan perkumpulan setan.
            Bila seseorang merasa bahwa orang-orang di sekitarnya berpaling darinya atau menjauhinya, maka perhatikanlah bagaimana hubungannya dengan Allah? Bila jiwanya merasa tenang dengan hubungan itu, merasa bahagia dengan ikatannya, maka jangan hiraukan ketidakpedulian pengasingan mereka. Apalah artinya kebencian hamba disbanding kerelaan Tuhan! Sebaiknya renungkan saja ucapan Hud kepada kaumnya:
Hud menjawab: ‘Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku terlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya sepenuhnya)”.

            Bila hubungannya dengan Allah rapuh dan samara-samar, maka musibah yang menimpa dirinya bukan karena adanya ketegangan hubungan dengan sesama. Bukan pula karena mereka berpaling dari dirinya. Tetapi karena tidak ada hubungan kuat dengan Allah, yang dapat menunjukkan jalan dan menentangkan hatinya. Itulah sebenarnya pangkal penyakit yang menimpa dirinya. Yang dari sini, setiap Muslim harus berangkat menyucikan dirinya. Usaha penyucian diri adalah usaha berarti yang harus dilakukan sepanjang hayat, sepanjang waktu.