Sudah Menjadi Tugas Kaum Beriman untuk Melenyapkan Hawa Nafsu

Mengalahkan Hawa Nafsu

    Karena itu, sudah menjadi tugas kaum beriman untuk melenyapkan hawa nafsu. Ini menjadi urgen, sebab ciri paling jelas pada manusia zaman sekarang adalah membiarkan dirinya mengumbar hawa nafsu. Mereka berpandangan bahwa tuntunan-tuntunan materi harus selalu terpenuhi dan tidak boleh ada rintangan apapun yang menghalanginya.

    Dengan dasar pandangan materialistik inilah mereka melontarkan penilaian-penilaian atas manusia dan segala sesuatu, yang kemudian penilaian ini menjadi paham sosial dan politik mereka. Dalam bidang psikologi, paham mereka diantaranya telah melahirkan sebuah teori yang mereka sebut dengan kompleksitas. Mereka beranggapan bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang penuh dengan tekanan kejiwaan. Tekanan-tekanan ini, kata mereka, harus dihilangkan dan anak-anak harus dibiarkan mengikuti berbagai nalurinya. Dorongan-dorongan nalurilah mereka harus dibiarkan menemukan penyalurannya dalam hidup mereka tanpa mesti ada tekanan atau rasa takut.

    Yang sangat disayangkan, ajaran-ajaran agama seolah kehilangan daya desaknya di hadapan perilaku busuk ini. Ia malah berjalan santai melenggan, tidak tengok kiri kanan, tidak ada ketakutan. Pengertian etika dan standar moral telah berubah di berbagai penjuru bumi sesuai dengan pola dan perkembangan baru kehidupan.

    Disina tidak bisa hendak mencari sebab-sebab kekacauan dan ketidakjelasan ini. Kita hanya ingin menegaskan kembali batas-batas kebenaran yang perlu diketahui dan dipedomani oleh manusia. Kita hanya hendak mengatakan baik atas hal yang baik, dan menilai buruk hal-hal yang buruk sesuai dengan logika agama dan petunjuk wahyu. Kemudian kita berupaya untuk menyentuh jiwa agar akrab dengan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Agar mengetahui bahwa ksesempurnaan jiwa dan ridha Allah hanya akan dapat dicapai dengan memegang ajaran agama dan petunjuk wahyu semata.
    Penyangga pertama dan utama bagi kebaikan jiwa adalah menjalankan ibadah yang telah diwajibkan Allah, betapa pun kewajiban-kewajiban itu dirasa memberatkan.

    Shalat misalnya, merupakan amal rutin, berkesinambungan dan terpadu selama siang dan malam masih berputar. Shalat wajib didirikan, jika dating waktunya semua kesibukan harus ditinggalkan, tidak ada alasan untuk berkelit. Shalat, dirasa berat oleh mereka yang suka mengumbar kesenangan dan pecinta kehidupan dunia. Mereka merasa berat untuk melakukannya karena harus dilakukan dari waktu-ke waktu, memaksa mereka untuk meninggalkan kesenangan dan istirahatnya, serta memaks mereka untuk meninggalkan kesibukan dan pekerjaan yang tengah digeluti. Oleh sebab itu Allah berfirman: “Dan sesungguhnya shalat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang kusyu, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.

    Mengalahkan hawa nafsu untuk mengerjakan kewajiban shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya, merupakan pangkal yang kuat bagi kesempurnaan jiwa yang diidamkan. Jelasnya, ketaatan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban merupakan tangga-tangga mencapai kesempurnaan yang diharapkan, merupakan tahap-tahap jalan menuju ketinggian roh dan keridhaan Allah.

    Kebutuhan jiwa manusia akan bimbingan dan penyucian, sama dengan-bahkan lebih-kebutuhan akal dan latihan penajaman dan pencerdasan. Jika kita menetapkan usia belajar dari sepuluh hingga dua puluh tahun untuk bisa menghasilkan nalar yang tercerahkan dan berbekal pengetahuan yang cukup sehingga mampu memahami dan menilai sesuatu, maka sekali-kali kita jangan menganggap bahwa jiwa memerlukan lebih sedikit dari usia belajar itu agar karakter dan kecenderungannya lurus dan benar, dorongan-dorongan nafsunya terkendali, dan terbentuk padanya kemampuan untuk meraih derajat leluhur, mencintai nilai-nilai keutamaan dan kemuliaan. Untuk memupuk sifat ‘iffah (kesucian diri) dan menghilangkan sifat tercela dalam jiwa, umpamanya, memerlukan upaya dan perjuangan yang panjang.

    Jika yang dimaksud dengan penyucian jiwa adalah upaya untuk menumbuhkan jiwa agar mencapai derajat dimana ia selalu mencintai dan menikmati kebaikan, membenci dan menjauhi keburukan, maka ini jelas membutuhkan pelatihan-pelatihan jiwa yang lebih panjang lagi. Pelatihan yang terpadu antara usaha manusia dan bimbingan Tuhan dalam meraih kesempurnaan dan mencapai pantai harapan.
    Manusia sebenarnya termasuk makhluk yang “baik” fitrah, dan cinta kasih sebagaimana dikatakan oleh ayat:
…tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

    Dalam banyak kesempatan kita serig menyaksikan banyak manusia yang merusak jiwanya sendiri sehingga tidak bisa melihat lagi kebenaran, terlebih mengikutinya. Orang-orang seperti itu tidak mustahil hidupnya teru menerus berada dalam kebatilan-kebatilan dan kebodohan, layaknya para gelandangan yang mencari penyambung hidup di antara tumpukan sampah dan sisa-sisa makanan yang baunya menyengat hidung. Namun itu semua tak membuat mereka merasa jijik sebab di situlah mereka mendapat makanan.
    Perusakan jiwa sama dengan pembunuhan atas nurani dan akhlak, membawa para pelakunya kepada kegelapan malam yang berkepanjangan, tidak pernah menemukan fajar menyingsing.

    Ketika kita menyaksikan mereka yang terlunta-lunta dalam rimba kehidupan yang tak jelas arah, inilah do’a yang mesti kita panjatkan: “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan karuniailah kami kami kemauan untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, serta karuniailah kami kemauan untuk menjauhinya…”.
    Dorngan-dorongan nafsu yang memerlukan pengawasan dan pengendalian ekstra berbeda-beda derajat tekanannya pada setiap orangnya. Tetapi secara umum setiap orang harus mengawasi dan mengendalikan dorongan-dorongan itu. Di antara dorongan nafsu itu adalah cinta diri, cinta wanita/lelaki, cinta harta, dan cinta popularitas. Setiap orang mempunyai kecenderungan untuk mencintai hal-hal di atas. Hanya saja setiap orang mempunyai kecintaan terhadap salah satu dari hal-hal di atas melebihi hal-hal lainnya.

    Ada orang yang kecintaan terhadap dirinya sampai menutup matanya untuk orang lain. semua gerak dan usahanya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada orang yang sangat tergila-gila dengan kekayaan, siang dan malam dihabiskan untuk mengumpulkan harta, kebahagiannya terletak pada pengumpulan harta dan tidak begitu tertarik untuk membelanjakannya walaupun dituntut untuk itu. Ada orang yang kecintaannya terhadap harta justru dengan mengeluarkannya, tujuannya tak lain agar namanya terkenal sebagai dermawan. Di antara manusia ada yang lebih tertarik pada penampilan. Mereka ibarat orang kehausan yang selalu mendambakan curahan air, dan mata air itu bagi mereka adalah penampilan yang wah.

    Atas dasar kecenderungan-kecenderungan ini, kelangsungan dan aktivitas manusia berjalan. Dan karena kerakusan dalam memenuhi kecenderungan-kecenderungan ini, bumi mengalami kerusakan dan kekacauan. Ketidakteraturan merebak, jiwa-jiwa teraniaya dan darah tertumpahkan.

    Air yang tidak terlalu banyak dan direguk oleh orang yang haus sebenarnya sudah cukup untuk menghilangkan haus dan mengembalikan tenaganya. Jika kemudian air sedikit itu berubah menjadi lautan dan orang yang haus meminuminya, maka haus dan dahaga bukannya hilang. Justru semakin banyak ia mereguk air laut semakin bertambah pula rasa dahaganya, perutnya penuh dengan air tapi hausnya malah menggila. Lama-kelamaan nyawanya un terenggut.

    Selama menjalani kehidupannya yang panjang semenjak ayunan hingga liang lahat, manusia banyak menghadapi beragam urusan yang memerlukan kesadaran pikiran dan ketajaman nurani. Pergulatan jiwa dalam melawan dorongan-dorongan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta, pergumulannya dengan kepentingan-kepentingan orang-orang sekitar dengan bermacam isu, gonjang-ganjing arah kehidupan, serta keinginannya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya kekuatan untuk merealisasikan kebajikan dan mencegah keburukan, semua itu menuntut perjuangan yang lestari dan berkesinambungan.

    Seseorang tidak akan berhasil dalam perjuangan ini kucuali apabila ia membiasakan untuk menampik dorongan hawa nafsunya dan berjalan di atas jalan yang lurus dengan gigih dan penuh semangat, tidak pernah lalai dan leha-leha. Allah telah memperingatkan Nabi-Nya dari hawa nafsu dan menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu tertutup jiwanya dari-Nya dan tergelincir dari kebenaran. Perhatikan apa kata Allah kepada Nabi Daud a.s:
Wahai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

    Kepada Nabi-Nya Muhammad saw. Allah berfirman:
Dan, sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah  turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.

    Allah menjelaskan bahwa hawa nafsulah yang telah membawa orang-orang kafir berbuat keburukan dan berhias dengan kebodohan: “Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan memberi petunjuk orang yang telah disesatkan Alla?”
    Bahkan semakin terbukti bahwa kebanyakan manusia menghiasi hatinya dengan hawa nafsu. Juga mungkin ucapan, perbuatan, dan putusan-putusan mereka semuanya berhias hawa nafsu, segenap panca indera berselimutkan hawa nafsu, sehingga mereka tidak bisa melihat selain apa yang sesuai dengan nafsunya. Artinya mereka tidak bisa melihat fakta dan kebenaran, selain apa yang sesuai dengan pola pikirannya sendiri yang sudah tak lagi murni, seperti melihat udara berwarna biru karena melihatnya di balik kaca yang berwarna biru. Perhatikan firmannya:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).