Cara hidup seperti binatang merupakan jalan terdekat kepada kehinaan dunia dan azab akhirat. Orang yang menempuh cara hidupnya seperti binatang tidak mempunyai tujuan selain kesenangan, kenikmatan, dan foya-foya dengan sesaat, mengumbar syahwat semaunya, mengeluarkan pendapat sekenanya tanpa bimbingan akal sehat, memutuskan hukum luput dari keadilan dan mengutamakan hal-hal duniawi yang sesaat dan cepat didapat ketimbang hal-hal ukhrawi yang abadi dan berharga tinggi. Alquran telah memastikan tempat kembali orang yang menempuh jalan hidup seperti itu: “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah, tempatnya kembali”. Penilaian terhadap suatu perjuangan tidak didasarkan pada berapa ongkos dan tenaga yang
Baik maling, satpam, maupun orang yang bertahajud sama-sama tidak tidur malam, tapi ada perbedaan yan sangat jauh diantara mereka.
Yang pertama terjaga di malam hari untuk melakukan dosa, dan karenanya ia berdosa. Yang kedua adalah seorang buruh yang melaksanakan kewajibannya karena upah, yang jika sedikit saja terlambat maka ia akan dicela dan dianggap meninggalkan tugasnya. Adapun yang terakhir adalah seorang mukmin, percaya kepada yang ghaib dan yang nampak, tahu apa yang ia kejakan dan buat siapa ia beramal.
Dari sini kita tidak terpaku oleh perjuangan atau upaya lahiriah, selama ia bukan perjuangan dan upaya yang lurus, benar dan sesuai dengan petunjuk wahyu. Mungkin anda pernah mendengar cerita tentang orang-orang miskin India dan para tokoh politiknya. Cerita tentang puasa mereka yang berkepanjangan dan terus-menerus. Puasa mereka, tak salah lagi, tidak lebih dari sekedar menyiksa badan yang ditopang oleh tekad kuat dan keinginan yang menggebu. Selain penghargaan kita terhadap kekuatan tekad dan keinginan mereka, perilaku mereka seperti itu tidak berhak mendapat perhatian dan puian apa-apa.
Walaupun diantara mereka ada yang mengubur dirinya dalam debu atau pasir selama berbulan-bulan seperti banyak diceritakan, kisah itu tidak sedikitpun menarik dan mengundang pujian kita. Kelakuan semacam itu hanya kami anggap tak lebih sebagai pamer otot yang biasa dilakukan oleh para binaragawan. Tak ada beda antara keduanya, selain bahwa yang satu pamer kebugaran dan kelebihan otot, sedang yang satunya lagi pamer kekurusan; yang satu pamer kekenyangan, sedang yang satunya pamer kelaparan. Masing-masing mempunyai kesiapan tekad untuk melakukan perbuatannya itu, tapi keduanya tidak terhitung sebagai perjuangan jiwa yang diakui oleh islam.
Di antara para pendeta, ada yang hidup bertahun-tahun dengan mengharamkan diri dengan kenikmatan-kenikmatan hidup, ada yang memperjuangkan dirinya untuk menanggung hal-hal yang sebenarnya tidak ia sukai. Akan tetapi kesesatannya dari kebenaran dan kebodohannya tentang Allah tempat meminta-yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada yang serupa dengan-Nya-menjadikan semua keluh kesah dan perjuangan jiwa mereka sia-sia belaka. Perjuangan-perjuangan itu semuanya tidak lebih dari penyiksaan diri yang tidak akan menambah arti apa-apa bagi para pelakunya selain kesulitan dan kepayahan yang tidak semestinya.
Agar perjuangan jiwa menjadi benar, maka harus dilakukan sejalan dengan garis yang telah ditetapkan oleh agama, dan telah diterangkan rambu-rambunya dengan jelas oleh syariat. Dari sini maka perjuangan yang diterima tidak mempunyai pengertian selain menjauhi hal-hal yang diharamkan dan bangkit untuk menjalankan kewajiban. Perjuangan jiwa yang benar adalah perjuangan yang membersihkan jiwa dari noda-noda dan kotoran yang melekat padanya. Mengisinya dengan nilai-nilai yang dikehendaki dan diridhai Allah. Perjuangan yang diterima adalah perjuangan yang hanya mengharap ridha Allah dalam semua tindakan dan memegang ketentuan-Nya dalam segala hal. Setiap perjuangan jiwa yang memutuskan hubungannya dengan Allah, pelakunya tertolak, dan perbuatannya tidak diterima.
dikeluarkan, tetapi pada niat yang menyertai dan tujuan dari perjuangan itu sendiri. Seorang maling harus bergadang semalaman untuk mencuri harta orang-orang yang sedang tidur. Polisi (satpam) harus menahan tidur di malam hari menjaga keamanan demi gaji bulanan yang ia terima. Orang yang bertahajud meninggalkan tempat tidur dan kenikmatan tidurnya bukan karena apa-apa selain untuk mengibadahi Tuhannya dalam keadaan tenang dan sunyi, mantafakuri ayat-ayat-Nya dengan kusyu dan penuh harap, seraya menunggu datangnya akhirat untuk memetik hasil tanamannya di dunia: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mereka sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.
Baik maling, satpam, maupun orang yang bertahajud sama-sama tidak tidur malam, tapi ada perbedaan yan sangat jauh diantara mereka.
Yang pertama terjaga di malam hari untuk melakukan dosa, dan karenanya ia berdosa. Yang kedua adalah seorang buruh yang melaksanakan kewajibannya karena upah, yang jika sedikit saja terlambat maka ia akan dicela dan dianggap meninggalkan tugasnya. Adapun yang terakhir adalah seorang mukmin, percaya kepada yang ghaib dan yang nampak, tahu apa yang ia kejakan dan buat siapa ia beramal.
Dari sini kita tidak terpaku oleh perjuangan atau upaya lahiriah, selama ia bukan perjuangan dan upaya yang lurus, benar dan sesuai dengan petunjuk wahyu. Mungkin anda pernah mendengar cerita tentang orang-orang miskin India dan para tokoh politiknya. Cerita tentang puasa mereka yang berkepanjangan dan terus-menerus. Puasa mereka, tak salah lagi, tidak lebih dari sekedar menyiksa badan yang ditopang oleh tekad kuat dan keinginan yang menggebu. Selain penghargaan kita terhadap kekuatan tekad dan keinginan mereka, perilaku mereka seperti itu tidak berhak mendapat perhatian dan puian apa-apa.
Walaupun diantara mereka ada yang mengubur dirinya dalam debu atau pasir selama berbulan-bulan seperti banyak diceritakan, kisah itu tidak sedikitpun menarik dan mengundang pujian kita. Kelakuan semacam itu hanya kami anggap tak lebih sebagai pamer otot yang biasa dilakukan oleh para binaragawan. Tak ada beda antara keduanya, selain bahwa yang satu pamer kebugaran dan kelebihan otot, sedang yang satunya lagi pamer kekurusan; yang satu pamer kekenyangan, sedang yang satunya pamer kelaparan. Masing-masing mempunyai kesiapan tekad untuk melakukan perbuatannya itu, tapi keduanya tidak terhitung sebagai perjuangan jiwa yang diakui oleh islam.
Di antara para pendeta, ada yang hidup bertahun-tahun dengan mengharamkan diri dengan kenikmatan-kenikmatan hidup, ada yang memperjuangkan dirinya untuk menanggung hal-hal yang sebenarnya tidak ia sukai. Akan tetapi kesesatannya dari kebenaran dan kebodohannya tentang Allah tempat meminta-yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada yang serupa dengan-Nya-menjadikan semua keluh kesah dan perjuangan jiwa mereka sia-sia belaka. Perjuangan-perjuangan itu semuanya tidak lebih dari penyiksaan diri yang tidak akan menambah arti apa-apa bagi para pelakunya selain kesulitan dan kepayahan yang tidak semestinya.
Agar perjuangan jiwa menjadi benar, maka harus dilakukan sejalan dengan garis yang telah ditetapkan oleh agama, dan telah diterangkan rambu-rambunya dengan jelas oleh syariat. Dari sini maka perjuangan yang diterima tidak mempunyai pengertian selain menjauhi hal-hal yang diharamkan dan bangkit untuk menjalankan kewajiban. Perjuangan jiwa yang benar adalah perjuangan yang membersihkan jiwa dari noda-noda dan kotoran yang melekat padanya. Mengisinya dengan nilai-nilai yang dikehendaki dan diridhai Allah. Perjuangan yang diterima adalah perjuangan yang hanya mengharap ridha Allah dalam semua tindakan dan memegang ketentuan-Nya dalam segala hal. Setiap perjuangan jiwa yang memutuskan hubungannya dengan Allah, pelakunya tertolak, dan perbuatannya tidak diterima.
dikeluarkan, tetapi pada niat yang menyertai dan tujuan dari perjuangan itu sendiri. Seorang maling harus bergadang semalaman untuk mencuri harta orang-orang yang sedang tidur. Polisi (satpam) harus menahan tidur di malam hari menjaga keamanan demi gaji bulanan yang ia terima. Orang yang bertahajud meninggalkan tempat tidur dan kenikmatan tidurnya bukan karena apa-apa selain untuk mengibadahi Tuhannya dalam keadaan tenang dan sunyi, mantafakuri ayat-ayat-Nya dengan kusyu dan penuh harap, seraya menunggu datangnya akhirat untuk memetik hasil tanamannya di dunia: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mereka sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.