Berikut ini Contoh Kritik dan Esai Puisi Tak Rindukah Kau.
Makhluk-makhluk raksasa di negeri ini berkelahi
Mutul-mulut mereka semburkan bara api
Di manakah air wudlu mengalir,
Di mana kendil-kendil suci terpatri
Di mana bunga-bunga wangi tersaji
Ketika malam menjelang
Masih saja berjuta orang berperang
Mata, pikir, dan jiwa tertutup tak bermakna
Wahai yang duduk di singgasana
Tak ngerikah kau
Melihat beronggok-onggok manusia berperut tambun
Mati kaku didatangi Izrail karena tersedak harta haramnya
Tak ngerikah
Jika anak-anak yang lahir pada zaman sesudahmu
Berprilaku lebih terkutuk darimu
Tak rindukah kau
Pada negerimu yang bagai surga dunia ini
Dipenuhi orang-orang yang khusuk membangun surga di alam baka
Tak rindukah kau?
(winarto dalam Harison, edisi 40 tahun 2006)
Berbagai macam rasa bisa muncrat dalam puisi. Sedih, kecewa, marah, gelisah, getir, gembira, berbahagia, cinta, dan sejenisnya sudah biasa kita temukan dalam puisi. Tidak berlebihan rasanya bila sejarah puisi, karya sastra umumnya, adalah sejarah kesedihan, kekecewaan, kemarah, kegetiran, kebahagiaan umat manusia ketika bersentuhan dengan dunia di dalam dirinya maupun dunia di sekelilingnya. Puisi adalah suara penyair, suara zaman yang memantulkan berbagai kondisi, masyarakat, dan perjalan sejarah di suatu tempat selain menikmati kreativitas bahasa dan ruang dalam diri penyair.
Sekurang-kurangnya puisi "Tak Rindukah Kau" Karya Winarto memperlihatkan gambaran masyarakat dengan menyebutnya "sebuah negeri", negeri yang dengan sedih dan kecewa dikatakannya begini: Masih di pagi ini/Makhluk-makhluk raksasa di negeri ini/Mulut-mulut mereka semburkan bara api. Seperti Indonesia atau jangan-jangan memang benar indonesia yang sedang dilukiskan oleh Winarto itu. Soalnya, semikianlah Indonesia hari ini, penuh pakik dan teriak, penuh kapal dan kata-kata sebal. Tak siang tak malam, berkelahi dan berperang menjadi kebiasaan.
Sebuah negeri yang tak menarik tentu saja. Meski Winarto menghasratkan sebuah negeri yang lain, negeri bagai surga dan penghuninya khusuk melangkah ke surga di alam baka, tetapi kenyataan yang menyebalkan itu sepertinya tidak akan segera berakhir. tiu sebabnya Winarto hanya sampai pada subuah pertanyaan, mungkin pelan, tetapi pasti tidak putus asa: tidak rindukah? sebuah pertanda bahwa harapan akan kemanusiaan tak pernah hilang dari benak orang yang kritis menyikapi kenyataan. Winarto sudah mengungkapkannya.
Sumber: Harisan, edisi 40 tahun 2016
Tak Rindukah Kau
Masih di pagi iniMakhluk-makhluk raksasa di negeri ini berkelahi
Mutul-mulut mereka semburkan bara api
Di manakah air wudlu mengalir,
Di mana kendil-kendil suci terpatri
Di mana bunga-bunga wangi tersaji
Ketika malam menjelang
Masih saja berjuta orang berperang
Mata, pikir, dan jiwa tertutup tak bermakna
Wahai yang duduk di singgasana
Tak ngerikah kau
Melihat beronggok-onggok manusia berperut tambun
Mati kaku didatangi Izrail karena tersedak harta haramnya
Tak ngerikah
Jika anak-anak yang lahir pada zaman sesudahmu
Berprilaku lebih terkutuk darimu
Tak rindukah kau
Pada negerimu yang bagai surga dunia ini
Dipenuhi orang-orang yang khusuk membangun surga di alam baka
Tak rindukah kau?
(winarto dalam Harison, edisi 40 tahun 2006)
Yang Merindu dalam Puisi
Oleh: Moh. Wan Anwar
Sekurang-kurangnya puisi "Tak Rindukah Kau" Karya Winarto memperlihatkan gambaran masyarakat dengan menyebutnya "sebuah negeri", negeri yang dengan sedih dan kecewa dikatakannya begini: Masih di pagi ini/Makhluk-makhluk raksasa di negeri ini/Mulut-mulut mereka semburkan bara api. Seperti Indonesia atau jangan-jangan memang benar indonesia yang sedang dilukiskan oleh Winarto itu. Soalnya, semikianlah Indonesia hari ini, penuh pakik dan teriak, penuh kapal dan kata-kata sebal. Tak siang tak malam, berkelahi dan berperang menjadi kebiasaan.
Sebuah negeri yang tak menarik tentu saja. Meski Winarto menghasratkan sebuah negeri yang lain, negeri bagai surga dan penghuninya khusuk melangkah ke surga di alam baka, tetapi kenyataan yang menyebalkan itu sepertinya tidak akan segera berakhir. tiu sebabnya Winarto hanya sampai pada subuah pertanyaan, mungkin pelan, tetapi pasti tidak putus asa: tidak rindukah? sebuah pertanda bahwa harapan akan kemanusiaan tak pernah hilang dari benak orang yang kritis menyikapi kenyataan. Winarto sudah mengungkapkannya.
Sumber: Harisan, edisi 40 tahun 2016