Pengertian Akhlak Falsafi, Amali, Individu dan Jamaah

Tags

Pengertian Akhlak Falsafi, Amali, Individu dan Jamaah


Pembicaraan yang berkaitan dengan pembagian Akhlak berkaitan dengan pembahasan tentang wilayah kajian ilmu Akhlak. Secara umum, akhlak dalam perspektif ilmu dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut.

Pengertian Akhlak Falsafi atau Akhlak

Akhlak falsafi atau Akhlak teoretik, yaitu Akhlak yang menggali kandungan A1-Quran dan As-Sunnah secara mendalam, rasional, dan kontemplatif untuk dirumuskan sebagai teori dalam bertindak. Akhlak falsafi juga mengompromikan ajaran-aiaran yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemildran-pemildran filosofis dan pemikiran sufistik.

Amin Syukur (1994: 22) mengatakan bahwa Akhlak falsafi cenderung mengedepankan pemahaman filosofis tentang berbagai teori yang mengandung rumusan tentang konsep-konsep pergaulan manusia dengan sesama manusia dan komunikasi manusia dengan Allah SWT. Bahkan, terkadang Akhlak falsafi tidak mencerminkan sebagai ilmu Akhlak, melainkan lebih pada filsafat.

Pengertian Akhlak Amali

Akhlak Amali, artinya Akhlak praktis, yaitu Akhlak dalam arti yang sebenarnya, berupa perbuatan, yaitu less talk do more, sedikit bicara banyak bekerja. Akhlak yang menampakkan diri ke dalam perwujudan amal perbuatan yang real, bukan sekadar teori. Jadi, Akhlak amali tidak banyak mengumbar janji, melainkan memberi banyak bukti. Misalnya, Akhlak dalam beribadah dibuktikan dengan melaksanakan shalat, shaum Ramadhan, membayar zakat, banyak berzikir, mengembangkan ilmu dan mengamalkannya untuk mendatangkan kemaslahatan, dan sebagainya.

Pengertian Akhlak fardhi atau akhlak individu

Akhlak fardhi atau akhlak individu, yaitu perbuatan seorang manusia yang tidak terkait dengan orang lain. Akhlak individu sebagai awal dari hak asasi manusia dalam berpikir, berbicara, berbuat, dan melakukan pengembangan diri. Akhlak ini dilindungi oleh norma-norma yang berlaku, baik norma Al-Quran dan As-Sunnah, norma hukum maupun norma budaya. Misalnya, akhlak berpolitik dalam pemilihan umum, akhlak dalam mengurus hak milik pribadi, akhlak dalam memilih agama yang dianut, akhlak dalam meraih cita-cita, dan sebagainya. Secara keseluruhan, semua akhlak individu akan diminta pertanggungjawaban secara individual, yaitu tanggung jawab di dunia dan di akhirat.


Pengertian Akhlak ijtima'i atau akhlak jamaah

Akhlak ijtima'i atau akhlak jamaah, yaitu tindakan yang disepakati secara bersama-sama, misalnya akhlak organisasi, akhlak partai politik, akhlak masyarakat yang normatif, dan akhlak yang merujuk pada adat kebiasaan. Akhlak jamaah biasanya didasarkan pada hasil musyawarah mufakat yang dipimpin oleh ketua atau pemimpin yang diakui kredibilitas dan legalitasnya oleh semua anggota masyarakat atau organisasi tertentu. Setiap keputusan mengandung kehendak bersama dan akan berdampak secara positif atau negatif kepada seluruh anggota masyarakat.

Misalnya, MUI memutuskan bahwa merokok bagi anak kecil dan wanita yang sedang hamil hukumnya haram. Fatwa tersebut disepakati bersama oleh seluruh pengurus dan anggota MUI, dan yang harus memberikan contoh adalah seluruh pengurus MUI, misalnya berhenti merokok. Jika masih merokok, anggota MUI belum dapat dikatakan sebagai orang yang konsisten dengan keputusan atau fatwa yang telah ditetapkannya, meskipun keharaman merokok hanya bagi anak kecil, wanita hamil, dan merokok di tempat umum yang akan merugikan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Contoh lainnya adalah keputusan musyawarah dalam muktamar ormas Islam yang kemudian ditetapkan sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ormas bersangkutan, seperti hak dipilih menjadi ketua umum ormas Islam dibatasi hanya sampai dua periode. Keputusan tersebut secara otomatis menjadi pedoman berakhlak bagi seluruh anggota ormas tersebut. Jika tiba-tiba keputusan itu dilanggar, dapat disebut sebagai akhlak yang tidak terpuji secara jamaah.

Akhlak teoretik atau akhlak falsafi, banyak dikemukakan oleh para tokoh ilmu akhlak yang kemudian dianggap sebagai filsuf muslim, terutama akhlak yang berkaitan dengan komunikasi manusia dengan Sang Pencipta yang dapat diraih melalui berbagai tingkatan akal dan tingkatan kedudukan atau martabat serta kesalehan manusianya masing-masing. Para filsuf muslim yang mengembangkan pemahaman filosbfisnya tentang eksistensi kebenaran dan sumber kebenaran adalah sebagai berikut.

AI-Kindi Al-Kindi mengatakan, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) segala sesuatu menurut kesanggupan manusia, mencakup ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wandaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang cara meraih maslahat dan menghindar dari madharat. Tujuan seorang filsuf bersifat teoretis, yaitu mengetahui kebenaran,praktis, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat pada kebenaran, semakin dekat pula pada kesempurnaan. Pandangan Al-Kindi di atas menjelaskan tujuan mempelajari filsafat dan manfaamya, kemudian berujung dengan pembentukan akhlak manusia.

Pengertian Akhlak Falsafi, Amali, Individu dan Jamaah
Menurutnya, akhlak manusia secara teoretik perlu dikembangkan dengan pendekatan filosofis karena filsafat akan menggali hakikat kebenaran, dan hakikat kebenaran yang abadi adalah hakikat Tuhan dengan Kemahaesaannya. Dengan demikian, pembentukan akhlak dilatih oleI) tata cara berpikir filosofis, bukan sekadar tindakan tanpa makna dan argumentasi. Bagi Al-Kindi, seorang filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta menyelidiki kebenaran dari sumbernya yang benar dengan jalan yang meyakinkan, bukan dengan jalan prasangka dan keraguan.