Tidak tersisa sesuatupun dari kebodohan, orang yang menginginkan terjadinya sesuatu pada waktu yang tidak dikehendaki Allah. Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa kodrat-Nya selalu berjalan sesuai keinginanmu: di balik realita yang kita rasakan luas atau kita rasakan sempit terdapat aturan adiluhung yang membuat segala peristiwa berjalan. Aturan itu tidak ada hubungannya dengan kerelaan atau kebencian kita.
Orang yang ingin mengubah kodrat yang sudah pasti, atau ingin mendahulukan sesuatu yang diakhirkan oleh Allah, atau mengakhirkan sesuatu yang didahulukan Allah, sama dengan menanduk cadas; ia tidak akan mendapatkan sesuatu selain kepalanya serasa pecah.
Orang bijak dan berakal sehat akan merancang rencana dan langkahnya seraya mengakui bahwa apa yang terjadi mesti diakui sebagai kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Setelah itu ia akan membentuk dan meluruskan perilakunya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan kebijaksanaan. Karena itu hendaknya setiap orang mengendalikan hawa nafsunya untuk tidak membenci dan mengutuk waktunya.
Dari pengalaman sendiri, penulis bisa menegaskan satu kesimpulan, bahwa kebanyakan hal yang menguntungkan justru pada mulanya merupakan hal yang tidak penulis senangi. Dan bahwasanya derita yang menyesakkan dan kesulitan yang membikin pusing, itulah yang menerpa akal untuk bangkit, menggali potensi untuk teraktualisasi dan menyingkapkan tabir rahasia dan sebelumnya tidak kita ketahui. Mahabenar Allah yang telah berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ai amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Tidak akan terputus karunia jika kamu memohon kepada Tuhan, dan akan muncul persoalan yang menyusahkan jika kamu meminta kepada dirimu sendiri. Ketika kaum muslimin sedang bertempur dalam perang badar, mereka merasa bahwa perang telah diwajibkan atas mereka tanpa mesti mengandalkan peralatan dan persenjataan perang yang semestinya. Kepercayaan mereka kepada Allah sangat tinggi, dan keyakinan mereka akibat pertolongan-Nya sangat besar.
Kepercayaan mereka akan dirinya sangat kecil sampai akhirnya menghilang, digantikan oleh kepercayaan yang mendalam kepada Allah, sehingga seolah Allah sendiri yang menangani perang itu. Kuda kuda yang mereka tunggangi, serta diri mereka seolah hanyalah alat Kehendak Yang Mahatinggi.
Oleh karena itu, perang berakhir dengan kemenangan besar bagi kaum yang menjalaninya atas nama Allah. Sebuah ayat menyatakan apa yang sebenarnya terjadi dalam perang itu: “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar mereka, tetapi Allah-lah yang melempar”.
Sebenarnya seseorang bisa memancarkan kekuatan yang besar ketika ia bekerja sambil memohon kepada Allah kekuatan, kesungguhan, taufik, dan keberhasilan. Setiap kali Rasulullah menghadapi musuh-musuhnya, beliau selalu memegang semangat ini seraya memohon pertolongan Allah semata. Beliau berkata: “Ya Alla, dengan-Mu aku menyerang, dengan-Mu aku berlindung dan dengan-Mu aku berperang. Ya Allah, sesungguhnya kami menjadikan-Mu sebagai penolong ketika kami memerangi mereka, dan kami berlindung dengan-Mu dari kekejian mereka”.
Jika seseorang merasa bangga dengan kekuatan dan perlengkapan serta persiapan yang mereka miliki, dan lupa kepada Allah yang kepada-Nya kembali segala perkara dan yang mengendalikan kehidupan, maka hasil-hasil usaha orang seperti ini akan mengagetkannya karena tidak sesuai dengan harapan.
Dalam perang Hunain kaum muslimin merasa tenang karena besarnya jumlah mereka. Mereka berkata: “Hari ini kita tidak akan kalah, karena jumlah kita banyak”. Mereka, satu sama lain saling memandang, dan mereka yakin bahwa mereka adalah pasukan perang yang kuat dan siap menerima musuh. Kepercayaan diri ini telah melupakan kepercayaan kepada langit, mereka tidak mengharapkan kemenangan selain dari diri mereka sendiri. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara sikap yang diambil kaum muslimin kali ini dengan sikap mereka ketika menghadapi perang Badar. Lalu apa hasil yang mereka rasakan kali ini?
Allah berfirman: “dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai”.
Itulah akibat dari congkak dengan diri dan melupakan Allah. Akibat ini pernah dirasakan pahitnya oleh kaum muslimin di bukit Uhud: “Dan mengapa ketika kaum ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar). Kamu berkata: ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah: ‘itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’”. Percaya diri yang berlebihan, betapa pun segala perlengkapan telah dipersiapkan dan segala persyaratan telah dipenuhi dengan sempurna, tidak akan membukakan pintu kebaikan. Kegagalan akan dipetik oleh usaha dan pemikiran manusia ketika kehendak-Nya menghendaki kegagalan.
Arti dari “mencari sesuatu dengan pertolongan Allah” adalah memadukan syarat utama (pertolongan Allah) dengan usaha-usaha dan syarat-syarat yang kita miliki. Bukan berarti boleh bermalasan atau lalai, sebab malas dan lalai tidak sesuai dengan kehendak Allah. Bahkan keduanya merupakan bentuk kemaksiatan kepada-Nya dan keluar dari sunah Kauniyah-Nya yang telah ditetapkan. Berusahalah, dan serahkan hasilnya pada Allah Swt karena hanya Dia yang Maha segalanya.