Hanya Allah, Kawan Kita
Bila sudah demikian, siapa yang wajib dijadikan kawan. Tentu saja Allah Swt saja. Sebab, tidak hanya kita, Alquran pun bertanya:
Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah Empunya langit yang tujuh dan Empunya ‘Arasy yang besar?’. Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’.
Iman bukanlah satu keyakinan yang tumbuh dari kebekuan aktivitas pemikiran dan terpengaruhnya akal oleh ilusi atau khurafat. Iman yang muncul dari dua hal itu tidak dianggap sebagai iman.
Para ulama mempunyai pembahasan tersendiri tentang nilai iman orang yang taklid. Di antara mereka ada yang menolaknya, sebagian lain menganggap iman seperti itu tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pemiliknya. Mengapa? Sebab Allah berfirman: “Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Sedang iman orang yang bertaklid bukan hasil usahanya, melainkan hasil orang lain.
Demikianlah, iman orang bertaklid adalah hasil orang-orang pintar yang berfikir kerasa untuk mencapai hasilnya. Adapun orang yang bertaklid sendiri tidak pernah terbersit dalam dirinya pemikiran, dan tidak pernah bergerak dalam wujudnya satu keinginan. Mereka cuma bisa mengikuti orang lain tanpa kesadaran. Hal seperti ini tidak bisa dianggap sebagai usaha yang layak dihormati dan berhak beroleh ganjaran.
Bila sudah demikian, siapa yang wajib dijadikan kawan. Tentu saja Allah Swt saja. Sebab, tidak hanya kita, Alquran pun bertanya:
Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah Empunya langit yang tujuh dan Empunya ‘Arasy yang besar?’. Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’.
Iman bukanlah satu keyakinan yang tumbuh dari kebekuan aktivitas pemikiran dan terpengaruhnya akal oleh ilusi atau khurafat. Iman yang muncul dari dua hal itu tidak dianggap sebagai iman.
Para ulama mempunyai pembahasan tersendiri tentang nilai iman orang yang taklid. Di antara mereka ada yang menolaknya, sebagian lain menganggap iman seperti itu tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pemiliknya. Mengapa? Sebab Allah berfirman: “Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Sedang iman orang yang bertaklid bukan hasil usahanya, melainkan hasil orang lain.
Demikianlah, iman orang bertaklid adalah hasil orang-orang pintar yang berfikir kerasa untuk mencapai hasilnya. Adapun orang yang bertaklid sendiri tidak pernah terbersit dalam dirinya pemikiran, dan tidak pernah bergerak dalam wujudnya satu keinginan. Mereka cuma bisa mengikuti orang lain tanpa kesadaran. Hal seperti ini tidak bisa dianggap sebagai usaha yang layak dihormati dan berhak beroleh ganjaran.
Islam adalah agama yang memancarkan kemampuan akal manusia, dan menjadikan keyakinan kepada Allah sebagai konsekuensi logis dari pengerahan kemampuan akal yang sadar dalam menjelajahi cakrawala langit dan bumi. Oleh sebab itu, Islam tidak pernah merintangi penelitian-penelitian ilmiah dan eksplorasi semesta. Sebaliknya, ia selalu mendorongnya dan memberikan perhatian yang tinggi.
Setiap langkah yang dilalui oleh ilmu semesta selalu menegaskan bahwa Allah-lah di balik setiap gerak dan diamnya semesta. Alam materi mustahil menciptakan dirinya sendiri, apalagi keserasian dan keteraturan yang mempertalikan bagian-bagian materi satu sama lain mustahil lahir dari nol. “Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan”.
Ketika manusia bersikeras menolak Ketuhanan dan mengingkari adanya Tuhan semesta alam, sebenarnya mereka sedang membikin tuhan-tuhan imitasi berupa khayalan-khayalan dan ilusi-ilusi yang yang tertanam dalam benak mereka. Akal sehat akan menolak penyembahan kepada binatang atau benda-benda padat. Ia tahu bahwa tuhan-tuhan palsu itu harus diingkari. Itu tak lain karena kalimat “Tiada tuhan sealin Allah”. Kalimat yang terdiri dari dua penggal. Penggalan pertama berupa negasi (penafian), sedang penggalan kedua berupa penetapan (itsbat).
Tiada tuhan. Penggalan pertama ini manafikan khayalan manusia berupa adanya tuhan-tuhan imitasi, yaitu tuhan-tuhan yang dipercayai di berbagai penjuru bumi oleh sejumlah besar manusia.
Kita, segenap kaum Muslimin mengingkari tuhan-tuhan itu, dan mengatakan seperti Alquran: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu”.
Orang-orang komunis berhenti pada penggalan ini, yakni pada penafian tuhan. Kalau mereka mempergunakan akalnya tentu mereka akan mengetahui bahwa setelah mengingkari tuhan-tuhan yang dibikin oleh manusia mesti mengimani Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia-lah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Kalimat “Tiada tuhan”, yang menafikan segala bentuk tuhan palsu, harus diikuti oleh penetapan adanya Tuha Yang Mahaagung dan Mahabenar. Penetapan itu adalah kalimat “Selain Allah”.
Allah-lah yang menunjukkan seorang astronot Rusia sebagian tanda-tanda-Nya ketika ia melihat bumi melayang di ruang angkasa dikelilingi ruang hampa. Hingga ia bertanya keheranan: “Siapakah yang memikiul bumi itu”.
Setiap langkah yang dilalui oleh ilmu semesta selalu menegaskan bahwa Allah-lah di balik setiap gerak dan diamnya semesta. Alam materi mustahil menciptakan dirinya sendiri, apalagi keserasian dan keteraturan yang mempertalikan bagian-bagian materi satu sama lain mustahil lahir dari nol. “Dan katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan”.
Ketika manusia bersikeras menolak Ketuhanan dan mengingkari adanya Tuhan semesta alam, sebenarnya mereka sedang membikin tuhan-tuhan imitasi berupa khayalan-khayalan dan ilusi-ilusi yang yang tertanam dalam benak mereka. Akal sehat akan menolak penyembahan kepada binatang atau benda-benda padat. Ia tahu bahwa tuhan-tuhan palsu itu harus diingkari. Itu tak lain karena kalimat “Tiada tuhan sealin Allah”. Kalimat yang terdiri dari dua penggal. Penggalan pertama berupa negasi (penafian), sedang penggalan kedua berupa penetapan (itsbat).
Tiada tuhan. Penggalan pertama ini manafikan khayalan manusia berupa adanya tuhan-tuhan imitasi, yaitu tuhan-tuhan yang dipercayai di berbagai penjuru bumi oleh sejumlah besar manusia.
Kita, segenap kaum Muslimin mengingkari tuhan-tuhan itu, dan mengatakan seperti Alquran: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu”.
Orang-orang komunis berhenti pada penggalan ini, yakni pada penafian tuhan. Kalau mereka mempergunakan akalnya tentu mereka akan mengetahui bahwa setelah mengingkari tuhan-tuhan yang dibikin oleh manusia mesti mengimani Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia-lah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Kalimat “Tiada tuhan”, yang menafikan segala bentuk tuhan palsu, harus diikuti oleh penetapan adanya Tuha Yang Mahaagung dan Mahabenar. Penetapan itu adalah kalimat “Selain Allah”.
Allah-lah yang menunjukkan seorang astronot Rusia sebagian tanda-tanda-Nya ketika ia melihat bumi melayang di ruang angkasa dikelilingi ruang hampa. Hingga ia bertanya keheranan: “Siapakah yang memikiul bumi itu”.