Pengertian Sederhana Korupsi Secara Umum

Pengertian Sederhana Korupsi Secara Umum


Korupsi Secara Sederhana

Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya (Haryatmoko, 2011: 123). Korupsi terjadi karena penyalahgunaan kewenangan kekuasaan tidak untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Penyalahgunaan kewenangan seringkali terjadi bukan saja karena sistem pengawasan tidak berjalan, melainkan juga karena problema mentalitas kebudayaan yang berhimpun dalam struktur birokrasi yang berjalan dalam pemerintahan.

Mentalitas tersebut tidak lain bersumber dari kultur feodalistik dalam wajah pengelolaan birokrasi pemerintahan. Sistem birokrasi dikelola secara rasional modern, namun kultur yang berjalan masih tradisional berdasarkan warisan lalu, maka sistem feodalisme menjadi tantangan yang tidak mudah untuk diurai dalam birokrasi modern. Dalam wajah birokrasi yang demikian, maka birokrasi seringkali menjadi seperti struktur dalam keluarga dengan sistem kekerabatan yang kuat. Tidak berlebihan jika sistem kekerabatan dalam sistem birokrasi di negeri ini berpeluang melahirkan fenomena birokrasi kolutif, koruptif, dan nepotis (Widoyoko, 2013: 92).
Menjelaskan korupsi hanya sebagai fenomena hukum belaka cenderung menyederhanakan kompleksitas korupsi. Sejarah panjang korupsi di Indonesia, terutama sejak diberlakukannya sistem pemerintahan modern yang di dalamnya mulai mengenal adanya pembagian kekuasaan dan kepemilikan.

Pengertian Sederhana Korupsi Secara Umum
Pembagian kekuasaan dan kepemilikan ini berimplikasi pada batas-batas fasilitas yang sudah diatur sedemikian rupa terkait dengan pengelolaan kewenangan. Transisi sistem kekuasaan yang demikian ternyata tidak mampu mengubah sistem kebudayaan yang selama ini melembaga. Birokrasi modern tidak serta merta menggeser sistem kebudayaan yang berakar dalam tradisi. Birokrasi modern yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pelayanan publik yang anti korupsi, justru memiliki kecenderungan kuat untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan (Widoyoko, 2013: 112)