Pertanggungjawaban Terbuka Beserta Contohnya
Pertanggungjawaban terbuka Justru agar pertanggungjawaban selalu dapat dituntut, pembatasan kebebasan sosial harus dilakukan secara terbuka dan terus terang. Tak perlu ditutup-tutupi. Masyarakat dan pelbagai lembaga di dalamnya, dalam batas wewenang masing-masing, memang berhak untuk membatasi kebe-basan manusia dan oleh karena itu tidak perlu malu-malu melakukannya. Mereka hendaknya dengan terbuka mengemukakan peraturan-peraturan clan larangan-larangan yang memang mereka anggap perlu.
Dengan de-mikian masyarakat yang bersangkutan seperlunya dapat menuntut pertanggungjawaban. Kalau aturan-aturan dan larangan-larangan itu perlu, hendaknya hal itu diperlihatkan. Kalau perlunya itu tidak dapat dipertang-gungjawabkan, peraturan-peraturan itu bersifat sewenang-wenang dan harus dicabut. Dalam hubungan ini saya mau menyinggung dua cara berbicara yang kadang-kadang dipergunakan untuk membatasi kebebasan seseorang atau seluruh masyarakat.
Dikatakan bahwa kita tetap bebas, tetapi "demi kebe-basan yang sebenarnya" kita hendaknya jangan melakukan apa yang tidak dikehendaki itu. Jadi kebebasan dibatasi atas nama "kebebasan yang sebe-narnya". Cara omong ini licik karena dipakai untuk mengurangi kebebasan tanpa diakui dengan terus terang. Yang buruk pada cara pembatasan kebebasan ini ialah bahwa tidak dipertanggungjawabkan.
Dengan argumen bah-wa kebebasan yang sebenarnya tidak dibatasi, mereka yang membatasinya menghindar dari pertanggungjawaban. Jadi hendaknya dia memilih: mem-biarkan bebas atau tidak. Kalau tidak, katakan dengan terus terang dan be-rikan pertanggungjawaban. Kalau pertanggungjawaban itu masuk akal, pembatasan akan kita terima. Tetapi kalau kita memang bebas, hendaknya bebas sungguhan. Artinya kita bebas sekehendak kita. Bahwa kita harus mempertanggungjawabkan kebebasan kita secara moral terhadap kita sen-diri, adalah lain masalah (lihat fasal berikut).
Tetapi dari fihak masyarakat kebebasan (sosial) kita berarti: kita boleh menentukan sendiri, apa yang kita kehendaki. Hal yang sama berlaku bagi istilah "kebebasan yang bertanggung ja-wab". Sebagaimana akan kita lihat dalam pasal berikut, kebebasan eksistensial memang perlu dipergunakan secara bertanggung jawab. Tetapi ka-lau istilah itu dipakai untuk mencegah kita dari memutuskan sendiri, apa yang mau kita lakukan, kita justru tidak diberi kesempatan untuk menun-jukkan apakah kita dapat bertanggung jawab atau tidak.
Contohnya
Sebagai contohnya dapat diambil orang tua yang memberikan kebebasan bergaul dengan semua teman kelas kepada anaknya pada hari ulang tahun ke-17; tetapi waktu mereka mendengar bahwa anaknya mau jalan-jalan dengan seseorang teman yang tidak dikehendaki, ia tidak diizinkan dengan alasan bahwa pergaulan itu tidak bertanggung jawab dan kebebasannya se-lalu harus yang bertanggung jawab. Atau, misalnya, pers sering dikatakan bebas melaporkan apa yang terjadi, tetapi sesudah pers memberitakan se-suatu yang tidak berkenan, ia ditindak dengan argumen bahwa kebebasan pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Omongan ini merupakan penyalahgunaan istilah tanggungjawab.Kalau suatu perbuatan memang tidak mau diizinkan, hendaknya dilarang dan larangannya dipertang-gungjawabkan. Kalau tidak dilarang, pers berhak untuk memberitakannya. Kebebasan justru berarti bahwa keputusan apakalf sesuatu sebaiknya diberitakan atau tidak menjadi tanggung jawab pers sendiri. Jadi yang me-nentukan adalah pers. Pembenaran pembatasan kebebasan dengan alasan "kebebasan bertanggung jawab" sebenarnya tidak lebih daripada pengakuan bahwa pembatasan yang dikehendaki tidak diberanikan dikemukakan dengan terus terang karena rupa-rupanya tidak dapat dipertanggungjawab-kan di depan umum. Jadi yang tidak bertanggung jawab adalah fihak yang mau membatasi kebebasan atas nama kebebasan yang bertanggung jawab itu. Jadi kebebasan sosial manusia memang jelas boleh dan bahkan harus dibatasi, tetapi pembatasan itu harus dikemukakan dengan terus terang dan harus dapat dipertanggungjawabkan.